Senin, 25 Januari 2010

Alat Pacu Jantung Mendukung Wi-Fi
Server dan monitor jarak jauh berkomunikasi dengan alat via internet sekali sehari.
Alat pacu jantung (townonline.com)

Kasyjanski, seorang warga Amerika Serikat (AS), selama lebih dari 20 tahun menggantungkan hidupnya pada alat pacu jantung. Namun sekarang, ia menjadi orang pertama di AS yang menggunakan alat pacu jantung tanpa kabel. Dengan alat baru, dokter bisa terus memonitor kondisi perempuan berusia 61 tahun itu dari jarak jauh melalui internet.



Seperti VIVAnews kutip dari Dailytech, 11 Agustus 2009, saat Kasyjanski menuju Rumah Sakit St. Francis di Roslyn, New York, untuk melakukan tes rutin, sekitar 90 persen pemeriksaan sudah dilakukan. Itu karena dokter telah mempelajari kondisi pasien dari informasi yang dikirim alat pacu jantung Wi-Fi tersebut kepada dokter melalui internet. Kasyjanski mengatakan, alat tersebut meningkatkan kepercayaan diri dan memudahkannya menjalani hidup.

Dr. Steven Greenberg, direktur Arrhythmia dan Pacemaker Center Rumah Sakit St. Francis, mengatakan, teknologi baru ini membantunya untuk merawat pasien dan tampaknya akan menjadi standar baru alat pacu jantung.

Greenberg menyebutkan, server dan monitor jarak jauh berkomunikasi sedikitnya satu kali sehari untuk mengunduh semua informasi relevan dan memberi peringatan pada dokter dan pasien jika sesuatu yang tidak normal terjadi.

“Jika sesuatu yang abnormal terjadi, kami punya sistem yang sangat rumit yang akan secara harfiah memanggil dokter yang bertanggung jawab pada pasien tersebut, pada pukul dua pagi kalau perlu,” kata Greenberg. Alat pacu jantung nirkabel produksi St. Jude Medical Inc. itu sendiri surah mendapat persetujuan otoritas makanan dan obat-obatan FDA pada Juli lalu.

Pada berbagai negara di dunia, terdapat 3 juta orang dengan alat pacu jantung, dan lebih dari 600.000 orang memasang alat pacu jantung tiap tahun. Greenberg mengatakan, teknologi nirkabel akan jauh lebih dikenal dalam perawatan pasien, dan bisa memberi waktu bagi dokter untuk lebih fokus pada kondisi pasien.

“Di masa depan, alat pacu jantung semacam ini mungkin tidak hanya diperuntukkan bagi pasien dengan detak jantung lemah, tapi juga bisa untuk memonitor tekanan darah tinggi, glukosa, atau gagal jantung,” harap Greenberg.

VIVAnews
Cool Pack, Penjaga Suhu Tetap Dingin
Meski mati lampu, Cool Pack membantu menjaga suhu freezer pada lemari es tetap dingin.
Cool Pack menjaga suhu dingin saat mati lampu (samsung.com)

Samsung menghadirkan lemari es terbarunya ke pasaran Indonesia yakni seri RT2BSDSS1. Produk ini merupakan lemari es dua pintu berkapasitas 280 liter -tersedia pula versi 230 liter- dengan freezer di bagian atas.

Yang menarik, Samsung menerapkan fitur Mr Cool Pack pada lemari es ini. Teknologi unik yang dikembangkan sendiri oleh tim R&D Samsung di India ini bahkan sudah dipatenkan hak ciptanya.

Mr Cool Pack merupakan bantalan yang berisi cairan yang dapat membeku menjadi es dan ditempatkan pada bagian freezer. Ditempatkan sebagai dudukan bagi bahan makanan yang disimpan di sana, Coolpack juga membantu menjaga suhu freezer tetap dingin saat mati lampu.

Selain digunakan di dalam freezer, Cool Pack juga bisa dimanfaatkan oleh pengguna yang akan bepergian. Sebagai contoh, untuk menjaga suhu minuman kaleng tetap sejuk, pengguna hanya perlu memasukkan Cool Pack ke dalam tas di mana minuman tersebut ditempatkan. Tergantung suhu dan kondisi, Cool Pack dapat menjaga suhu minuman tersebut selama 3 sampai 4 jam.

Sayangnya, Cool Pack ini tidak dijual terpisah dan hanya bisa didapatkan jika Anda membeli lemari es Samsung seri RT2BSDSS1.

• VIVAnews
Pembangkit Listrik Tenaga Pohon
Pohon bisa menghasilkan voltase hingga 200 milivolt ketika sebuah elektroda dipasang.
(mangabay.com)

Beberapa peneliti telah menemukan bahwa terdapat listrik yang cukup di dalam pohon untuk memasok daya bagi sirkuit elektronik. Penemuan ini bisa menjadi jalan agar komputer di rumah bisa dipasok energinya dari pohon yang ditanam di kebun belakang rumah.

"Sejauh pengetahuan kami, ini merupakan pertamakalinya peneliti menemukan bahwa seseorang bisa mengaktifkan sesuatu dengan memasang elektroda ke sebuah pohon," kata Babak Parviz, peneliti dari University of Washington, seperti VIVAnews kutip dari Mother Nature Network, 14 September 2009.

Parviz, dan rekannya Brian Otiz telah mengembangkan alat yang akan memungkinkan sebuah sirkuit dicolokkan ke pohon. "Pengembangan ini nantinya bisa mengatasi masalah bagaimana melakukan charging terhadap gadget portabel seperti iPod dan ponsel," kata Parviz.

Penelitian ini didasari oleh temuan sebelumnya, ketika tahun lalu sejumlah peneliti mendapati bahwa pohon bisa menghasilkan voltase hingga 200 milivolt ketika sebuah elektroda dipasang di pohon dan elektroda lainnya ditanam di tanah. Teknologi tersebut didesain untuk berfungsi sebagai sensor hutan yang dayanya dipasok dengan cara tersebut. Tetapi sampai saat ini belum ada yang mencoba mengaplikasikan temuan ini untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga pohon.

Tahun lalu, Carlton Himes, Mahasiswa University of Washington menghabiskan musim panasnya berkeliling di hutan sekitar kampus dan menancapkan paku di pohon maple lalu menghubungkannya pada voltmeter. Ia mendapati bahwa pohon-pohon tersebut memiliki voltase yang stabil sampai beberapa ratus milivolt.

Berhubung voltase pohon sangat rendah, ia kemudian membuat konverter khusus untuk mengambil voltase input sampai berukuran minimal 20 milivolt agar bisa disimapan untuk menghasilkan output yang lebih besar. Perangkat itu kemudian menghasilkan voltase output sampai 1,1 volt, yang cukup untuk menjalankan sensor berdaya rendah.

Meski begitu, teknologi untuk memanfaatkan pohon pinus sebagai pemasok daya untuk PC masih jauh. Dan sebagai informasi saja, tubuh manusia memiliki daya yang cukup besar untuk menyalakan komputer. Sayangnya belum ditemukan cara untuk menyambungkan manusia dengan PC lewat kabel tanpa menyakiti manusia tersebut.

• VIVAnews
Teknologi Mencari Korban Direruntuhan
Saat ini anjing pelacak sangat diandalkan untuk mendeteksi dan menemukan mayat korban.

Gempa di Kota Padang : Anjing Pelacak (AP Photo/Dita Alangkara)







Untuk menemukan korban yang tertimpa reruntuhan besi, beton, dan material lainnya bukanlah hal yang mudah. Apalagi jika bangunan yang rubuh adalah bangunan tinggi yang puing-puingnya sendiri mencapai belasan meter tingginya.

Beberapa waktu terakhir, ada beberapa teknologi yang diupayakan untuk dapat membantu tim pencarian ataupun tim medis dalam menemukan korban. Khususnya memanfaatkan media udara.

Sebagai contoh, seperti VIVAnews kutip dari Medindia, 5 Oktober 2009, sekelompok peneliti dari Amerika Serikat, pada National Meeting of the American Chemical Society, Agustus 2009 lalu mengungkapkan bahwa mereka telah melakukan penelitian untuk membuat alat portabel yang dapat mendeteksi jenazah korban yang terkubur. Tujuan mereka adalah membuat sebuah perangkat elektronik yang dapat menemukan sekaligus memastikan berapa lama korban telah tewas secara akurat.

Seperti diketahui, saat ini anjing pelacak sangat diandalkan untuk mendeteksi dan menemukan mayat korban akibat gempa bumi, tornado, atau bencana alam lainnya.

“Anjing-anjing ini sangat efektif, tetapi butuh waktu, biaya, dan tenaga yang banyak untuk melatihnya. Jika ada alat yang bisa melakukan hal tersebut secara efektif, tentu ini perlu diusahakan,” kata Dr Dan Sykes, ilmuwan yang terlibat dalam penelitan tersebut.

Menurut Sarah A Jones, mahasiswa yang bekerjasama dengan Sykes, alat seperti itu bisa dikembangkan dengan mendeteksi gas yang dikeluarkan ketika tubuh manusia mulai membusuk dalam berbagai kondisi lingkungan.

Dari serangkaian uji coba, mereka berhasil membuat sensor khusus disebut dengan serat Solid Phase Micro Extraction (SPME) untuk menangkap gas. Disebutkan, serat yang dilapisi secara khusus ini merupakan serat yang biasa digunakan untuk mengambil sampel dari komposisi udara.

Lain lagi dengan yang dilakukan oleh peneliti dari University of Georgia dan U.S. Department of Agriculture (USDA). Menurut peneliti, yang mengungkapkan temuannya pada Biotechnology Review, edisi Januari 2006, seekor lalat suatu saat bisa dimanfaatkan untuk mendeteksi jenazah yang terkubur, bahan peledak, racun, bahkan kanker.

“Lalat merupakan hewan yang selalu sibuk merasakan lingkungannya,” kata Joe Lewis, peneliti USDA yang terlibat dalam project Wasp Hound. “Mereka bisa mendeteksi bau yang kita inginkan dan kemudian menemukan jalan menuju ke sumber tersebut,” ucapnya.

Untuk itu lalat perlu dilatih untuk mendeteksi bau tertentu. Sebagai contoh, peneliti memberikan air gula pada seekor lalat yang lapar. Setelah beberapa sesi, lalat tersebut bisa mengasosiasikan bau air gula tersebut dengan makanan dan mencari sumber baunya ketika mereka menemukan bau tersebut di udara.

Saat serangan pada World Trade Center, di New York, 11 September 2001, 300 ekor anjing terlatih digunakan untuk menemukan korban yang tertimba reruntuhan gedung. Meski anjing sudah biasa digunakan, tetapi peneliti menyebutkan lalat lebih cepat dan murah untuk dilatih.

“Seekor anjing pelacak membutuhkan waktu 1 sampai 2 tahun sampai benar-benar terlatih, sementara lalat hanya membutuhkan waktu 5 menit,” ucap Lewis.

Lalat juga terbukti lebih sensitif dibanding penciuman buatan. Contohnya, Electronic Nose buatan NASA didesain untuk mendeteksi bocoran amonia pada pesawat ruang angkasa, bisa mendeteksi konsentrasi amonia sampai 1 per satu juta bagian. Sementara seekor lalat dapat mendeteksi empat per satu miliar bagian.

Rata-rata lalat memiliki sensitivitas serupa dengan seekor anjing bloodhound yang paling terlatih, dan 50 kali lebih sensitif dari rata-rata manusia. Meski demikian, masih diperlukan sekitar 5 sampai 10 tahun untuk meneliti lebih lanjut apa yang bisa dilakukan lalat.

“Lalat mungkin tidak akan menggantikan anjing pelacak,” kata Lewis. “Tetapi dalam beberapa hal, lalat lebih baik. Anda bisa melatih lebih banyak, mudah, dan murah, melengkapi metode pencarian yang sudah kita miliki,” ucapnya.

• VIVAnews
Laser Terkuat di Dunia Dibangun di Rumania
Rencananya, penelitian mengenai fisika nuklir, astrofisika, kosmologi, akan dilakukan.
(flyingpictures.co.nz)






Tiga negara-negara bekas blok Soviet di Eropa Timur terpilih menjadi tuan rumah bagi pembangunan fasilitas sebuah eksperimen fisika paling ambisius oleh Uni Eropa. Eksperimen dalam proyek bernama Extreme Light Infrastructure (ELI) tersebut bertujuan membangun laser paling kuat di dunia di dekat ibukota Rumania, Bucharest.

Seperti VIVAnews kutip dari Softpedia, 13 Oktober 2009, fasilitas tersebut akan memungkinkan para ilmuwan untuk melakukan eksperiman jangkauan luas pada intensitas cahaya yang belum pernah tercapai sebelumnya.

Nantinya, fasilitas itu juga akan didedikasikan untuk menyelidiki interaksi laser di kawasan ultra-relatif yang belum dieksplorasi. Selain itu juga digunakan untuk membangun sumber-sumber radiasi serta partikel ultra pendek, intens, dan belum pernah terjadi sebelumnya bagi ilmu terapan dan fundamental.

Adapun fasilitas laser itu akan ‘diberikan’ pada Rumania, Hungaria, dan Republik Ceko. Biaya yang diperlukan diperkirakan mencapai sekitar 500 juta euro (sekitar US$728,5 juta). Berdasarkan rencana awal, penelitian ilmiah yang akan dilakukan adalah mengenai fisika nuklir, astrofisika, kosmologi, dan fisika energi tinggi.

Gordon Bajnai, Perdana Menteri Hungaria, baru-baru ini juga mengumumkan bahwa terapi kanker dan bentuk perawatan kesehatan lain juga akan dilakukan.

Pembangunan fasilitas yang sangat mengesankan ini akan melibatkan sekitar 300 ilmuwan dan pada akhirnya akan mempekerjakan 600 personel pendukung.

Proyek akan dimulai paling lambat tahun 2011 dan diperkirakan akan selesai pada 2015. Negara lain yang terlibat dalam proyek ELI ini adalah Prancis, Jerman, Italia, Lithuania, Kerajaan Inggris, Polandia, Portugal, dan Spanyol, dengan Amerika Serikat dan Jepang bertindak sebagai pengamat asing.

VIVAnews
USB Dongle untuk Uji Kehamilan
Stik yang digunakan untuk tes urin dapat dihubungkan ke port USB di komputer.
USB uji kehamilan (Genius Beauty)

Melakukan tes kehamilan kini semakin mudah dan canggih. Alat tes kehamilan yang selama ini ada bahkan sudah dianggap usang. Yang terbaru adalah alat tes kehamilan berupa USB yang terhubung dengan komputer.

Cara kerjanya mirip dengan alat tes kehamilan yang selama ini mudah ditemui di toko obat. Hanya saya, stik yang digunakan untuk tes urin dapat dihubungkan ke USB port di komputer.

Teteskan sampel urin pada stik di salah satu ujung USB. Kemudian, tancapkan ujung lainnya ke USB port di komputer Anda. Selanjutnya, kecanggihan komputer akan menganalisa kandungan hormon dalam urin Anda.

Setelah USB tertancap, komputer akan menganalisa urin Anda dengan memunculkan grafik mengenai kandungan Anda. Bahkan, alat ini juga dapat menganalisa waktu kesuburan, yang penting bagi perempuan yang ingin mempercepat atau menunda kehamilan.

Dengan tingkat keakuratan sekitar 99 persen, alat ini dijual seharga US$ 18 atau sekitar Rp 180.000. Selamat mencoba.

• VIVAnews
Elektroda Agar Buang Air Bisa Kembali Normal
Sebuah remote control disediakan untuk memudahkan Ged Galvin ketika buang air besar.
(fixturesetc.com)

Ged Galvin, seorang IT manager asal Inggris menjadi pria pertama yang memiliki ‘bionic bottom’. Fitur tersebut dibenamkan pada tubuhnya setelah ia mengalami kecelakaan motor yang mengakibatkan luka dalam yang parah.

Kini ia perlu menggunakan remote control untuk membuka ujung dari usus besarnya.

Untuk menghadirkan fasilitas tersebut di tubuh Galvin, para ahli bedah di Royal London Hospital mengambil sebuah otot dari bagian atas lututnya. Kemudian otot tersebut dilekatkan di sekitar otot pengunci dan menempatkan elektroda pada syaraf-syaratnya. Adapun remote control yang disediakan berguna untuk mengaktifkan elektroda yang bersangkutan.

“Rasanya seperti ponsel kecil,” kata Galvin pada Daily Telegraph, 18 November 2009. “Anda juga bisa menyala-matikannya seperti menggunakan TV,” ucapnya.

Galvin menyebutkan, sebutan pria dengan bionic bottom tidak mengganggunya. “Saya berterimakasih pada para tenaga medis, apa yang telah mereka lakukan pada saya merupakan sebuah keajaiban,” ucapnya.

Sebelumnya, Galvin dinyatakan bahwa ia harus menggunakan colostomy bag seumur hidupnya dan tubuhnya perlu dilubangi sebagai saluran pembuangan tinja. Pasalnya dua operasi yang dilakukan untuk memperbaiki mekanisme kontrol pada usus besarnya gagal. Tetapi ia menolak itu dan professor Norman Williams, menyarankan Galvin dioperasi untuk dipasangi alat di tubuhnya.

Kini Galvin dapat menjalani hidupnya secara normal.

• VIVAnews